Dasar dasar Islam yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah masalah pokok dalam islam, yaitu masalah aqidah. Perlu diketahui istilah aqidah tidak pernah digunakan dalam teks Al Quran maupun sunnah Rasul Saw.
Istilah aqidah baru dikenal dan digunakan oleh para ulama ushuluddin. M. Husain Abdullah dalam Al-Fikr al-Islami menyampaikan bahwa ditinjau dari bahasa arab, aqidah berasal dari kata kerja 'aqada yang bermakna syadda (menguatkan atau mengikatkan).
Kata 'aqada ini dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai pengertian yang intinya mengandung makna ikatan atau penguatan, misalnya ‘aqdu al-habl (mengikatkan tali), ‘aqdu al-bai’ (mengadakan ikatan atau akad jual-beli), ‘aqd al’ahdi (mengadakan ikatan atau akad perjanjian) dan sebagainya.
Masih secara bahasa, aqidah dapat pula bermakna ma in’aqada ‘alaihi al-qalbu, yaitu sesuatu yang hati itu terikat padanya. Adapun pengertian in’aqada adalah jazama bihi (hati itu memastikannya) atau shaddaqahu yaqiniyan (hati itu membenarkan secara yakin atau pasti).
Jadi, menurut bahasa, aqidah adalah segala pemikiran yang dibenarkan secara pasti oleh hati, sedemikian hingga hati itu terikat kepadanya dan memberi pengaruh nyata pada manusia.
Ditinjau dari istilah, aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia tersebut
Hafidz Abdurrahman memberikan definisi aqidah secara global sebagai aqidah pemikiran yang menyeluruh mengenai manusia, kehidupan serta hubungan di antara semuanya dengan apa yang ada sebelum kehidupan (Pencipta) dan setelah kehidupan (Hari Kiamat), serta mengenai hubungan semuanya dengan apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, yang diyakini oleh qalbu dan diterima oleh akal sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan yang diimani, dan bersumber dari dalil.
Dalam konteks Islam, aqidah Islam sebagai salah satu dasar-dasar islam bisa didefinisikan dengan iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha dan Qadar dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah, yang diyakini oleh qalbu (wijdan) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil.
Sementara, makna iman itu sendiri adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan dalil/bukti). Pembenaran pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan (dzann) sedikit pun.
Sesuai dengan kenyataan artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya, bukan diada-adakan (mis. keberadaan Allah). Ditunjang dengan suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu. Tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti. Imam Al-Ghazali menyatakan "Iman adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya.”
Imam Syafi'i dalam kitab Fiqhul Akbar berkata:
"Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berpikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah. Arti berpikir adalah melakukan penalaran dan perenungan qalbu dalam kondisi orang yang berpikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin."
Pemikiran rasional yang membangun sebuah aqidah sebagai salah satu dasar-dasar Islam juga pernah ditunjukkan oleh seorang arab Baduy yang suatu ketika ditanyakan kepadanya:
"Dengan apa engkau mengenal Rabbmu?"
Dia menjawab:
"Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan. Bukankah gugusan bintang yang ada di langit dan ombak yang bergelombang di laut menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa."
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [QS.Al-Baqarah: 164]
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” [QS. Ali Imran: 190]
Ayat di atas dan masih banyak lagi ayat yang serupa mengajak manusia untuk memperhatikan segenap kandungan alam semesta dengan seksama dan memperhatikan apa yang ada di dalam diri dan sekelilingnya. Semua itu merupakan bukti nyata adanya Pencipta yang Maha Mengatur.
Dengan cara itu, imannya kepada Allah SWT merupakan keyakinan yang mantap karena berdasarkan bukti yang nyata dan rasional. Islam memperingatkan manusia untuk tidak mengikuti begitu saja keyakinan dan jalan hidup yang ditempuh oleh nenek moyangnya tanpa meneliti sejauh mana kebenaran pilihan tersebut. Dengan kata lain, Islam telah melarang seorang muslim bertaqlid dalam masalah keyakinan atau aqidahnya.
Allah SWT berfirman:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [QS. Al-Baqarah: 170]
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.’ mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [QS. Al-Maidah: 104]
Ayat-ayat di atas menunjukkan secara tegas larangan pada setiap manusia untuk mengikuti begitu saja (taqlid) kepada nenek moyangnya dalam masalah aqidah. Karena masalah aqidah merupakan salah satu pondasi atau dasar-dasar Islam, yang jika dasar atau pondasinya rusak, maka akan rusak pula bangunan diatasnya. Keyakinan atau aqidah yang diperoleh dengan jalan taqlid adalah keimanan yang rapuh, mudah sekali digoncang oleh berbagai cobaan dan tantangan.
Abdul Majid Az-Zindani menyatakan :
“Kalau manusia ingin memiliki iman yang benar, ia harus berilmu (menggunakan akalnya)... sebab iman yang didapat dan dipertahankan dengan jalan taqlid kepada orang lain akan segera goncang justru di awal menghadapi cobaan dan serangan.”
Inilah proses membangun aqidah yang diajarkan Islam. Aqidah yang dibangun berlandaskan pemikiran yang jernih hasil proses pengamatan atas bukti-bukti yang nyata yang terhampar di alam semesta ini. Melalui pengamatan dan pemikiran inilah seseorang akan sampai kepada keyakinan tentang eksistensi Allah SWT.
Walaupun wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam membangun aqidahnya, namun tidak mungkin akal tersebut akan menjangkau semua hal. Akal hanya mampu menjangkau sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera (al-waqi’ al-mahsus), yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan.
Demikianlah penjabaran tentang aqidah yang menjadi salah satu dasarar-dasar Islam. Pemahaman aqidah yang benar akan mengoohkan pondasi bangunan ajaran islam yang dibangun diatasnya.
Aqidah yang menjadi salah satu dasar-dasar Islam harus dibangun berdasarkan proses berpikir yang dibimbing oleh dalil-dalil yang jelas. Pemahaman aqidah yang menjadi salah satu dasar-dasar agam Islam tidak boleh hanya sekadar mengikuti kepercayaan nenek moyang tanpa ada dalil. Aqidah yang menjadi salah satu dasar-dasar Islam merupakan hal yang harus dipahami oleh kaum muslimin.
Semoga pembahasan diatas tentang aqidah yang menjadi salah satu dasar-dasar Islam dapat memperjelas pemahaman kita tentang Islam.
Istilah aqidah baru dikenal dan digunakan oleh para ulama ushuluddin. M. Husain Abdullah dalam Al-Fikr al-Islami menyampaikan bahwa ditinjau dari bahasa arab, aqidah berasal dari kata kerja 'aqada yang bermakna syadda (menguatkan atau mengikatkan).
Kata 'aqada ini dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai pengertian yang intinya mengandung makna ikatan atau penguatan, misalnya ‘aqdu al-habl (mengikatkan tali), ‘aqdu al-bai’ (mengadakan ikatan atau akad jual-beli), ‘aqd al’ahdi (mengadakan ikatan atau akad perjanjian) dan sebagainya.
Masih secara bahasa, aqidah dapat pula bermakna ma in’aqada ‘alaihi al-qalbu, yaitu sesuatu yang hati itu terikat padanya. Adapun pengertian in’aqada adalah jazama bihi (hati itu memastikannya) atau shaddaqahu yaqiniyan (hati itu membenarkan secara yakin atau pasti).
Jadi, menurut bahasa, aqidah adalah segala pemikiran yang dibenarkan secara pasti oleh hati, sedemikian hingga hati itu terikat kepadanya dan memberi pengaruh nyata pada manusia.
Ditinjau dari istilah, aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia tersebut
Hafidz Abdurrahman memberikan definisi aqidah secara global sebagai aqidah pemikiran yang menyeluruh mengenai manusia, kehidupan serta hubungan di antara semuanya dengan apa yang ada sebelum kehidupan (Pencipta) dan setelah kehidupan (Hari Kiamat), serta mengenai hubungan semuanya dengan apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, yang diyakini oleh qalbu dan diterima oleh akal sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan yang diimani, dan bersumber dari dalil.
Dalam konteks Islam, aqidah Islam sebagai salah satu dasar-dasar islam bisa didefinisikan dengan iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha dan Qadar dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah, yang diyakini oleh qalbu (wijdan) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil.
Sementara, makna iman itu sendiri adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan dalil/bukti). Pembenaran pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan (dzann) sedikit pun.
Sesuai dengan kenyataan artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya, bukan diada-adakan (mis. keberadaan Allah). Ditunjang dengan suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu. Tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti. Imam Al-Ghazali menyatakan "Iman adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya.”
Aqidah Sebagai Dasar Pemikiran Rasional (Aqliyah)
Karena sebagai salah satu dasar-dasar Islam atau pondasi Islam, Aqidah Islam bukanlah suatu keyakinan yang dibangun atas dasar doktrin atau taklid semata. Namun, aqidah Islam haruslah muncul dari proses berfikir secara rasional.Imam Syafi'i dalam kitab Fiqhul Akbar berkata:
"Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berpikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah. Arti berpikir adalah melakukan penalaran dan perenungan qalbu dalam kondisi orang yang berpikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin."
Pemikiran rasional yang membangun sebuah aqidah sebagai salah satu dasar-dasar Islam juga pernah ditunjukkan oleh seorang arab Baduy yang suatu ketika ditanyakan kepadanya:
"Dengan apa engkau mengenal Rabbmu?"
Dia menjawab:
"Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan. Bukankah gugusan bintang yang ada di langit dan ombak yang bergelombang di laut menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa."
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [QS.Al-Baqarah: 164]
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” [QS. Ali Imran: 190]
Ayat di atas dan masih banyak lagi ayat yang serupa mengajak manusia untuk memperhatikan segenap kandungan alam semesta dengan seksama dan memperhatikan apa yang ada di dalam diri dan sekelilingnya. Semua itu merupakan bukti nyata adanya Pencipta yang Maha Mengatur.
Dengan cara itu, imannya kepada Allah SWT merupakan keyakinan yang mantap karena berdasarkan bukti yang nyata dan rasional. Islam memperingatkan manusia untuk tidak mengikuti begitu saja keyakinan dan jalan hidup yang ditempuh oleh nenek moyangnya tanpa meneliti sejauh mana kebenaran pilihan tersebut. Dengan kata lain, Islam telah melarang seorang muslim bertaqlid dalam masalah keyakinan atau aqidahnya.
Allah SWT berfirman:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [QS. Al-Baqarah: 170]
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.’ mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [QS. Al-Maidah: 104]
Ayat-ayat di atas menunjukkan secara tegas larangan pada setiap manusia untuk mengikuti begitu saja (taqlid) kepada nenek moyangnya dalam masalah aqidah. Karena masalah aqidah merupakan salah satu pondasi atau dasar-dasar Islam, yang jika dasar atau pondasinya rusak, maka akan rusak pula bangunan diatasnya. Keyakinan atau aqidah yang diperoleh dengan jalan taqlid adalah keimanan yang rapuh, mudah sekali digoncang oleh berbagai cobaan dan tantangan.
Abdul Majid Az-Zindani menyatakan :
“Kalau manusia ingin memiliki iman yang benar, ia harus berilmu (menggunakan akalnya)... sebab iman yang didapat dan dipertahankan dengan jalan taqlid kepada orang lain akan segera goncang justru di awal menghadapi cobaan dan serangan.”
Inilah proses membangun aqidah yang diajarkan Islam. Aqidah yang dibangun berlandaskan pemikiran yang jernih hasil proses pengamatan atas bukti-bukti yang nyata yang terhampar di alam semesta ini. Melalui pengamatan dan pemikiran inilah seseorang akan sampai kepada keyakinan tentang eksistensi Allah SWT.
Walaupun wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam membangun aqidahnya, namun tidak mungkin akal tersebut akan menjangkau semua hal. Akal hanya mampu menjangkau sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera (al-waqi’ al-mahsus), yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan.
Demikianlah penjabaran tentang aqidah yang menjadi salah satu dasarar-dasar Islam. Pemahaman aqidah yang benar akan mengoohkan pondasi bangunan ajaran islam yang dibangun diatasnya.
Aqidah yang menjadi salah satu dasar-dasar Islam harus dibangun berdasarkan proses berpikir yang dibimbing oleh dalil-dalil yang jelas. Pemahaman aqidah yang menjadi salah satu dasar-dasar agam Islam tidak boleh hanya sekadar mengikuti kepercayaan nenek moyang tanpa ada dalil. Aqidah yang menjadi salah satu dasar-dasar Islam merupakan hal yang harus dipahami oleh kaum muslimin.
Semoga pembahasan diatas tentang aqidah yang menjadi salah satu dasar-dasar Islam dapat memperjelas pemahaman kita tentang Islam.
Source : www.anneahira.com/dasar-dasar-islam-26443.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar