DILEMA
Pertama kali cinta datang padaku,
saat aku berumur lima belas. Aku tersenyum sembari memegangi sebuah gelas. Saat
itu bagiku, gelas yang kubeli bukan hanya sebuah gelas. Gelas itu adalah tanda
kedewasaan yang meretas. Gelas itu simbol masa pubertas yang trengginas. Gelas
itu adalah perwujudan cinta pertama yang sedang memberontak keluar dengan
ganas. Keringat dingin disekujur tubuhku mengalir deras. Akhirnya aku mengambil
secarik kertas, sementara tangan yang memegang pena mengekspresikan perasaan
dengan lepas.
Rasanya tak perlu aku menuliskan
kembali kata-kataku saat itu. Aku malu. Yang penting kalian tau, bahwa aku
telah berhasil membuat sebuah surat berisi semua isi hatiku, kepada wanitaku.
Gelas itu telah terbungkus rapi dalam sebuah kado berwarna ungu ditanganku.
tahukah kalian perasaanku saat itu? Ya, perasaanku sama dengan kalian saat
hendak mencoba menaklukkan cinta pertama itu. Langkah ini bergetar hebat, namun
tekadku sudah bulat menuju rumah itu.
Rumah tempat tinggal wanita pertama di hatiku. Tanganku, memegangi surat yang kubuat itu, dengan lemas, dengan degupan jantung yang bergemuruh tak menentu. Tak sanggup rasanya memutar gagang pintu. Aku malu.
Rumah tempat tinggal wanita pertama di hatiku. Tanganku, memegangi surat yang kubuat itu, dengan lemas, dengan degupan jantung yang bergemuruh tak menentu. Tak sanggup rasanya memutar gagang pintu. Aku malu.
Sesaat sebelum aku berjuang,
seorang teman lelaki datang, dengan senyum yang terkembang. Dia bertanya padaku
apa yang sedang kupegang. Aku malu untuk bilang, tak akan pernah kubilang pada
temanku itu, yang senyumnya terkembang. Katanya, pasti untuk wanita itu kado
yang kupegang. Senyumku terkembang. Aku bohong bilang, bukan bang. Pandangannya
padaku seperti menantang. Dia seolah menabuhkan genderang perang saat bilang
bahwa wanitaku itu dulu adalah orang yang dia sayang. Dan lelaki dengan senyum
terkembang itu adalah temanku, dia masih berharap wanitaku masih menyimpan
cintanya yang selalu terkembang. Aku gamang.
Kertas itu, yang berisi curahan
hatiku, tercabik lesu. Dia merintih letih dari dalam kotak sampah. Kubilang
padanya sudahlah, bukan saatnya menjadikan bulan juni ini sebagai bulan yang
indah. Dengan lesu tanganku mengetuk pintu. Pintu itu terbuka, dan dia ada
dihadapanku. Aku terenyuh, kelakianku tersentuh. Wanita itu cantik sekali,
sungguh. "Selamat Ulang Tahun, ini kado untukmu." Kataku padanya
dengan pilu. Wanita itu tersenyum padaku, berterimakasih dan mempersilahkanku
untuk duduk dulu. "Aku sedang buru-buru. Kesini hanya untuk menyampaikan
kado itu. Semoga kau bahagia selalu." Kataku padanya dengan pilu. Padahal
pantatku bersikeras untuk duduk dulu, tetapi aku tak mau.
Detik demi
detik berlalu. Menit demi
menit terukir. Jam demi jam
berdentang. Hari demi
hari terlewati. Bulan demi bulan berdatangan. Cinta pertama yang sempat
terlupakan kembali hadir, saat hati sudah bermain kesana-kemari. Mungkin saat
ini yang terbaik, menguji keberhasilan cinta pertama ini. Aku lebih memilih
senang saat ku tau temanku tak sanggup melanjutkan kisahnya dengan wanitaku.
Aku lebih percaya diri sekarang dari pada dulu. Langkah ini sudah mantap. Sebelum akhirnya seorang temanku
datang berharap. Katanya dia terpikat, pada wanitaku yang cantik berjilbab.
Sekali lagi dalam hati,
berkecamuk perang antara cinta dan persahabatan. Sekali lagi dalam hati, cinta terengah
pasrah pada amukan ganas persahabatan. Sekali lagi dalam hati, beristirahat
dengan tenang cinta ini. Dan ternyata, aku yang berlabel pejuang cinta sahabat
ini, tidak disukai oleh wanitaku ini. Ya sudahlah, terlanjur begini.
Saat masa sekolah hampir
berakhir, saat kesempatan datang agar cinta ini dapat terukir, seperti biasa
seorang teman membuat cinta ini terusir. Tapi kali ini, aku tak ingin cinta ini
berakhir. Sekali ini saja aku ingin kikir. Bisakah sekali ini saja aku
kikir?!?! Tuhan, cinta
ini benar-benar berakhir.
Saat sendiri aku sering bertanya
pada hati. Sebenarnya sedekat apa aku dengannya? Hingga berani mencintai. Yang
kuingat dan selalu kuingat hanyalah, aku sering kerumahnya, dengan ritual
memutari jalan depan rumahnya dulu berkali-kali, lalu menepuk dada dan
memejamkan mata untuk belok masuk ke halaman rumahnya. Alasanku sederhana,
hanya ingin meminjam sebuah buku atau meminjami sebuah buku. Hanya itu
ceritaku. Kau boleh tanya pada sebungkus martabak yang selalu kubawa untuknya
jika tak percaya padaku.
Hanya itu ceritaku,
Cerita yang membuatku, sampai
saat ini tak pernah mengungkapkan isi hatiku.
Sumber : Agung Yandifa | @yandifaagung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar